Makanan Halal Dan Haram

Khamis, 7 Februari 2013
Oleh : Ustadz Alfi Syahar, MA
Mengkonsumsi makanan yang halal adalah keharusan, karena memang demikian perintah syari’at agama. Allah berfirman :

يا أيها الذين ءامنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم

“ Hai orang-orang yang beriman makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu.” [QS.Al Baqarah : 172].
Adapun mengkonsumsi makanan yang haram disamping mendatangkan mudharat dari segi kesehatan, juga menimbulkan mudharat dari segi agama yaitu berupa ancaman siksa, karena hal itu adalah pelanggaran terhadap ketentuan agama islam. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram bisa menghalangi terkabulnya do’a.
Rasululullah   صلى الله عليه وسلم bersabda yang artinya : “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman serupa dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul.” Allah berfirman yang artinya : “Hai para Rasul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramalah dengan amalan yang baik.” Firman Allah juga yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman makanlah dari apa-apa yang baik yang telah kami rizkikan kepadamu.” Kemudian Beliau menceritakan seorang laki-laki yang telah lama perjalanannya, rambutnya kusut penuh debu, dia mengangkat kedua tangnnya ke langit dan berdo’a : “Ya Rabb, Ya Rabb! Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan sesuatu yang haram, bagaimana ia akan dikabulkan doa’anya.” [HR.Muslim, 1015].
A.HUKUM DASAR
Pada dasarnya semua makanan hukumnya adalah halal,kecuali yang diharamkan oleh dalil, Allah berfirman :

هو الذي خلقكم ما في الأرض جميعا

“Dialah yang telah menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk kamu… [QS. Al Baqarah:29].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata : “Dalam ayat diatas terdapat dalil bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu halal dan suci karena ayat tersebut konteksnya adalah menyebutkan nikmat.” [Tafsir As Sa’di,  hal 30].
B.SYARAT MAKANAN YANG HALAL
1.Suci, bukan najis atau yang terkena najis. Allah berfirman :

إنما حرم عليكم الميتة و الدم و لحم  الخنزير وما أهل به لغير الله

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah.” [QS. Al Baqarah:173].
2.Aman, tidak bermudharat baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Allah berfirman :

ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة

“Dan janganlah kamu menjerumuskan diri kamu kedalam kebinasaan.” [QS. Al Baqarah:195].
3.Tidak memabukkan. Rasulullahصلى الله عليه وسلم  bersabda : “setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” [HR.Muslim,2003].
4.Disembelih dengan penyembelihan yang sesuai dengan syari’at jika makanan itu berupa daging hewan.
C. ASAL-USUL MAKANAN
Dilihat dari segi asal usul makanan dibagi menjadi dua : Makanan Nabati dan Hewani. Yang kedua dibagi menjadi dua : hewan air dan hewan darat. Yang kedua dibagi menjadi empat : Buas, jinak, unggas, serangga.
a.Makanan Nabati : Hukum asalnya adalah Halal, dalilnya adalah surat Al Baqarah :29, dan hadits Salman Al Farisi,  Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda yang artinya : “yang halal adalah yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan yang Haram adalah yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan yang didiamkan maka itu dimaafkan.” [HHR.At Tirmidzi, 1730, ia berkata : Gharib dan Mauquf lebih shahih].
b.Makanan Hewani :
1. Hewan air : Hukum dasarnya adalah Halal, dalilnya firman Allah yang artinya :

أحل لكم صيد الير…

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut.” [QS. Al Maidah :96].
Juga sabda Rasulullah  صلى الله عليه وسلمyang artinya : “(air laut ) itu suci dan bangkainya halal.” [HR. Abu Daud,83. Dan At Tirmidzi,69, ia berkata Hasan Shahih]. Kecuali buaya karena ia termasuk hewan bertaring dan buas, juga Ular dan Kodok.
Abdurrahman bin Utsman berkata : “Telah datang seorang Thabib kepada Rasulullah meminta izin menjadikan kodok sebagai ramuan obat, maka Rasulullah melarangnya untuk membunuh kodok.” [HR. Abu Daud,3871. Dan An Nasaa’i , 4062 dan dishahihkan oleh Syeikh Al Bani].
2. Hewan darat.
a.Binatang buas. Ibnu Abbas berkata : “Rasulullah melarang memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar.” [HR.Muslim, 1934]. Berpijak dari hadits ini maka binatang buas yang diharamkan adalah binatang yang bertaring.
b.Binatang jinak. Hukum asalnya adalah halal, dalilnya Allah berfirman :

أحلت لكم يهيمة الأنعام

“Dihalalkan bagimu binatang ternak.” [QS. Al Maidah :1]. Kecuali Keledai, ia diharamkan dalam hadits dari Jabir ia berkata : “Rasulullah melarang pada perang Khaibar untuk makan daging Keledai dan mengizinkan makan daging kuda.” [HR. Bukhari,5524. Dan Muslim, 1941].
c.Unggas. Hukum dasarnya adalah halal. Zahdam Al Jarmi berkata : “Saya pernah datang kepada Abu Musa Al ‘Asy”ari dan Ia sedang makan daging Ayam, lalu Ia berkata : “ mendekat dan makanlah! Karena aku melihat Rasulullah memakannya.” [HR.At Tirmidzi, 1836]. Ia berkata : “hasan. Kecuali burung pemangsa dengan cakar sebagai  senjatanya. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas diatas, juga burung pemakan bangkai seperti gagak, sebagaimana Rasulullah bersabda yang artinya : “Lima Fawaasiq, dibunuh baik dalam wilayah haram, atau diluar wilayah haram, : Gagak, Elang, tikus, kalajengking, dan anjing penggigit.” [HR.Bukhari,1829. Muslim 1198]. Dan hewan yang halal tidak dibunuh melainkan disembelih, karena jka dibunuh maka ia menjadi bangkai.
d.Serangga yang menjijikan haram hukumnya, dalilnya firman Allah :

ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk.” [QS. Al ‘Araf :157]. Dan sesuatu yang buruk dan menjijikan tidak termasuk dalam kategori ath thoyyibat. Allah berfirman :

قل أحل لكم الطيبات

“katakanlah dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.” [QS. Al Maidah :4].
Adapun belalang maka ia halal tanpa diragukan, Abdullah bin Abi Aufa berkata : “Kami telah berperang sebanyak tujuh kali peperangan dengan memakan Belalang bersama Rasulullah.” [HR.Bukhari,5495. Dan Muslim, 1952].
Wallahu’alam
Maraji’ :
1. Al Uddah syarah Umda,  karya Baha’uddin Abdurrahman Al Maqdisi.
2. Al Majmu’,  karya Abu Zakariya Yahya bin Sharaf An Nawawi.
3. Al Mughni, karya ibnu Qudamah Al Maqdisi.
4. Fiqh Assunnah, karya Sayyid Sabiq.

0 ulasan:

Catat Ulasan