Telaah Kitab: Tiga Rukun Agama |
Saturday, 22 December 2012 18:32 |
Rumusan
ihsan ini secara garis besar kembali kepada tiga hal, yaitu: melepaskan
diri dari negeri tipu daya (dunia), menumpukan harapan untuk menuju
negeri yang kekal, dan mempersiapkan diri untuk kematian sebelum ia
datang. Memahami agama dengan benar merupakan syarat diterimanya segala amalan kita di sisi Allah SWT. Dan Allah memelihara agama ini dengan memelihara ilmu di hati para ulama pilihan dan kekasih-kekasih Allah yang tulus memegang teguh agama-Nya dari generasi ke generasi. Dalam setiap zaman dan masa, Allah pilihkan ulama-ulama yang mampu menjelaskan agama dengan bahasa kaum pada zamannya, sehingga agama yang agung dan lurus ini senantiasa akan tetap terjaga hingga hari Kiamat. Habib Zein bin Ibrahim Bin Smith Al-‘Alawi Al-Husaini Al-Hadhrami, ulama besar kelahiran Jakarta, yang kini tinggal di Madinah Al-Munawwarah, adalah salah satu ulama yang Allah pilih di zaman ini untuk menjelaskan kalimat-kalimat syari’at dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat muslim pada saat ini. Kitab Syarh Hadits Jibril: Hidayah ath-Thalibin fi Bayan Muhimmat ad-Din (Penjelasan Hadits Jibril: Petunjuk bagi para Penuntut Penjelasan tentang Hal-hal yang Penting dalam Agama) adalah salah satu karya terbaiknya yang dipersembahkan bagi umat Islam. Kitab ini menjelaskan secara garis besar namun sangat terperinci ihwal inti-inti ajaran Islam yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Dalam kitab ini, Habib Zein menjelaskan tiga rukun agama beserta perinciannya berdasarkan hadits agung yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab dalam kitab Shahih Al-Muslim. Dari Umar bin Al-Khaththab RA, ia berkata, “Pada suatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih, rambutnya hitam sekali dan tidak tampak padanya tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Nabi SAW. Kedua tumitnya disandarkan kepada kedua tumit Nabi dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah SAW, seraya berkata, ‘Wahai Muhammad, beri tahu aku tentang Islam.’ Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Islam adalah bahwa engkau bersyahadat bahwasanya tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.’ Lalu orang itu berkata, ‘Engkau benar.’ Kami pun heran terhadap orang itu. Dia bertanya tetapi dia juga yang membenarkannya. Kemudian orang itu bertanya lagi, ‘Kini beri tahu aku tentang iman.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadar Allah, baik dan buruknya.’ Orang itu lantas berkata, ‘Engkau benar.’ Lalu dia berkata lagi, ‘Kini beri tahu aku tentang ihsan.’ Nabi menjawab, ‘Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya meskipun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat engkau.’ Orang itu kemudian berkata, ‘Beri tahu aku tentang as-Sa`ah (Kiamat).’ Nabi menjawab, ‘Yang ditanya tidaklah lebih tahu dari yang bertanya’.” Dia pun bertanya lagi, ‘Beri tahu aku tentang tanda-tandanya.’ Nabi menjawab, ‘Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa), serta penggembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.’ Kemudian orang itu pergi dan aku pun berdiam sejenak sampai Nabi bertanya, ‘Hai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya tadi?’ Lalu aku menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW lantas berkata, ‘Itulah Jibril, yang datang untuk mengajarkan agama kepada kalian’.” (HR Muslim). Hadits agung di atas merupakan dasar utama bagi para ulama dalam menetapkan rukun agama menjadi tiga bagian besar yang menjadi kewajiban atas setiap muslim dalam menjalankan agamanya, yaitu Islam, iman, dan ihsan. Ketiga rukun tersebut melahirkan tiga cabang ilmu agama: Pertama, ilmu fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari hukum syari’at amaliah yang Allah fardhukan terhadap umat Islam untuk mengerjakannya. Kedua, ilmu tauhid, yaitu ilmu yang mempelajari segala apa yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf dari perkara-perkara ketuhanan, kenabian, dan perkara-perkara sam‘iyyat (perkara-perkara keimanan yang dikhabarkan oleh Nabi SAW). Ketiga, ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang mempelajari perilaku hati yang wajib dihiasi dengan perilaku-perilaku yang menyelamatkan dan wajib dibersihkan dari perilaku-perilaku yang membinasakan. Sepuluh Akhlaq Terpuji Islam maknanya taat dan patuh terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang berupa hukum-hukum syari’at. Islam adalah agama yang diterima di sisi Allah, yang dipilih-Nya bagi segenap hamba-Nya, dan Allah tidak meridhai agama selain Islam. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” – QS Ali Imran (3): 19 “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” – QS Ali Imran (3): 85. Rukun Islam, yang menjadi dasar dan fondasinya, lima perkara, yaitu sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi SAW, “Islam terbina di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Iman adalah pembenaran yang pasti terhadap segala sesuatu yang dapat diketahui secara pasti dan tidak terbantahkan dari apa yang dibawa oleh Nabi SAW dari sisi Allah. Dan dimutlakkan pula makna iman dengan pengertian pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam kaitannya dengan makna ini, penulis memberikan catatan bahwa pengucapan dua kalimat syahadat merupakan syarat bagi diterapkannya hukum-hukum yang berlaku bagi orang-orang mukmin di dunia. Karenanya, seseorang yang memberikan pengakuan dengan hati dan lisannya, orang tersebut mukmin di sisi Allah dan mukmin pula dalam pandangan kita, yakni dalam hukum-hukum yang berlaku di dunia. Seseorang yang membenarkan dengan hatinya namun tidak memberikan pengakuan dengan lisannya bukan karena kedurhakaannya, orang tersebut mukmin di sisi Allah namun kafir dalam pandangan kita. Dan seseorang yang memberi pengakuan dengan lisannya namun tidak membenarkannya dengan hatinya, orang tersebut adalah munafik, yang berlaku terhadapnya hukum-hukum kaum mukmin namun di akhirat tidak termasuk orang-orang yang selamat. Sedangkan ihsan adalah meneguhkan ibadah dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan, dengan khusyu’, tunduk, ikhlas, dan kehadiran hati. Di antara hal yang dapat menghantarkan kepada semua itu adalah menghadirkan kebesaran Allah dan keagungan-Nya dan syuhud (pandangan hati) terhadap penglihatan Allah atas setiap makhluk-Nya, dalam diam dan geraknya. Sebagaimana dijelaskan oleh hadits Jibril di atas, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya meskipun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat engkau.” Karenanya, hendaklah seorang hamba senantiasa merasa diawasi oleh Allah pada segala kondisinya, mengetahui bahwa Allah Yang mengurusnya, dan Dia Maha Mengetahui segala perbuatan dan perkataannya. Allah SWT berfirman, “Engkau tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an, dan engkau tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu….” – QS Yunus (10): 16. Rumusan ihsan ini secara garis besar kembali kepada tiga hal, yaitu: melepaskan diri dari negeri tipu daya (dunia), menumpukan harapan untuk menuju negeri yang kekal, dan mempersiapkan diri untuk kematian sebelum ia datang. Berkaitan dengan perilaku hati itu, Imam Al-Ghazali merangkum akhlaq yang terpuji menjadi sepuluh: taubat, takut dan harap, zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakkal, mahabbah, ridha, dan ingat mati. |
0 ulasan:
Catat Ulasan