Salah satu makanan khas Arab. (foto: arabic-food)

Khamis, 7 Mac 2013
menentukan siapa Anda) banyak benarnya.

Orang Arab, misalnya, akan ketahuan ke-arab-annya dari tradisi kulinernya. Bagi orang Arab yang hidup di Jazirah Arab, makan itu konsep dari keramahtamahan. Di Arab Saudi makanan adalah urusan keluarga, bahkan urusan keluarga besar.

Makanan biasanya dihidangkan dalam tampah besar berisi aneka ragam menu dan disantap ramai-ramai. Bukan memakai piring atau wadah terpisah, namun dari tampah besar dan dikelilingi bersama-sama di semua sisinya.

Sebagai anggota rombongan amirul haj, tahun lalu saya diundang jamuan makan oleh muassasah untuk menikmati nasi mandi. Itu istilah betul-betul harfiah, karena tumpukan nasi di tampah besar dicampur atau di-mandiin alias diguyus daging ayam, domba, unta. Lalu ditaburi macam-macam rempah, sayur-sayuran, saus sambal, dan saus tomat.

Bersama sekitar tujuh orang tamu, di meja saya dihidangkan satu tampah berisi satu domba yang sudah dipotong-potong lengkap dengan kepalanya. Sementara di meja utama, saya melihat sekitar 10 orang tamu dengan tampah berisi satu unta guling.

"Betul-betul mandi unta," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menceritakan jamuan makan dari Muassasah bagi rombongan Amirul Haj Indonesia. Masih ada beberapa lagi pejabat Indonesia turut dalam berburu kuliner di Arab Saudi saat itu.

Itu cerita tahun lalu. Tahun ini, tepatnya pekan lalu, saya kembali ke Arab Saudi bersama Bahrul Hayat atas undangan Liga Muslim Dunia atau Rabithah Alam Islamy. Kali ini, kata Bahrul, "Kita berburu makan sendiri".

Maka dimulailah perburuan makanan Arab di negerinya sendiri. "Saya tahu dimana makan yang enak," kata Bahrul.  "Tidak perlu di restoran mahal, tapi di kaki lima juga banyak yang enak," katanya lagi.

Bahrul hampir setiap tahun berangkat haji dan berkunjung ke Arab Saudi karena jabatannya. Dia paham betul apa dan bagaimananya kuliner dan tempat makan di Arab Saudi, di jalur Jeddah-Mekkah-Madinah. Bahrul cenderung tidak protokoler, bisa makan dimana saja dan sama siapa saja, termasuk di kaki lima.

"Saya sudah bosan dengan makanan di hotel atau restoran mewah. Saya carinya makanan yang enak, bukan yang mewah," katanya.

Maka petualangan berburu kuliner Arab bersama petinggi Kementerian Agama itu dimulai seusai tawaf di Masjidil Haram. Kami mencari sarapan otentik Arab di kaki lima di belakang Masjidil Haram.

"Kita sarapan roti khas Arab ya," katanya mengajak mojok di kedai Arab.

Roti khas Arab itu namanya khubz. Roti ini dibuat dari gandum dan berbentuk bundar. Biasanya khubz dipotong membentuk segitiga terlebih dahulu sebelum disajikan. Masyarakat Arab menggunakan khubz sebagai teman memakan fuul (bubur kacang) atau bubur pisang.

Yang membuat roti gandum bundar itu enak adalah disajikan selagi panas. Begitu juga kari ayam, kari kambing, atau kari ikan tuna yang berfungsi sebagai kuah. Semuanya masih panas karena baru dikeluarkan dari tungkunya. Bagi yang senang pedas, disajikan cabe hijau mentah yang kalau digigit menimbulkan bunyi krenyes...krenyes.

Untuk minumannya tersedia susu, yoghurt, teh dan kopi. Tapi yang paling disukai adalah jus kurma segar yang diblender dari biji kurma mentah. Ada juga jus buah delima dan strawberry.

"Saya harus bilang wow sambil koprol tiga kali," kata Ihwanul Kiram, mantan Pemimpin Redaksi Republika, memuji lezatnya sarapan khas Arab itu.

Untuk makan malam di Mekkah, kami memilih nasi kabsa, terbuat dari beras basmati dicampur cabe, daging, dan sayur-sayuran. Nasi kabsa dihidangkan dalam satu nampan besar untuk empat sampai tujuh orang. Lauknya disediakan macam-macam kebab di piring terpisah.

Kami bisa memilih sesuai selera kebab daging ayam, daging sapi, daging kambing, daging unta. Ada juga tersedia ikan bakar dan udang goreng.

Untuk makanan pembuka, dihidangkan shawarma atau sandwich khas daerah Timur Tengah. Shawarma, yang di Indonesia lebih terkenal sebagai kebab Turki, terdiri atas irisan daging tipis-tipis, potongan tomat dan mentimun, lalu dibungkus dengan roti.

Di restoran tempat kami makan, daging yang dipakai untuk membuat shawarma diambil dari lempengan yang ditumpuk sehingga berbentuk seperti gelendong silinder. Di bawahnya ada tungku api untuk memanaskan. Lalu dipotong dalam irisan kecil-kecil oleh pisau panjang yang tajam.

Lalu Bahrul Hayat, seorang doktor psikologi lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat, menjelaskan kaitan makanan dan karakter kelompok-kelompok etnis manusia. Ia menjelaskan karakter manusia terutama dipengaruhi faktor genetikanya, baru kemudian asupan makanan dan minumannya.

Menurut Bahrul, orang Arab suka makan daging karena struktur geografinya memang mendukung. Di jazirah Arab yang dipenuhi gunung-gunung batu dan gurun pasir, hewan yang hidup hanyalah kambing gunung dan unta gurun. Karena air terbatas, maka ikan-ikanan sulit hidup di jazirah Arab.

"Jadi jangan heran kalau orang Arab lebih banyak makan daging," katanya.

Meskipun demikian, kata Bahrul, bukan berarti orang Arab tidak suka makan ikan. Bahrul membuktikan bahwa di Arab Saudi restoran seafood juga ada. Makanya dalam perjalanan dari Mekkah ke Medinah sepanjang 400 km, kami mampir di sebuah restoran makanan laut.

Kira-kira 150 km sebelum kota Madinah, di kawasan yang disebut Sasco, kami berhenti untuk makan siang. Kali ini, dia mengajak kami untuk membuktikan kelezatan ikan goreng Arab di tengah gurun pasir itu.

Ikan sejenis kakap atau kerapu itu digoreng kering begitu saja. Tidak dikasih bumbu lagi. Hanya disajikan dengan sup kaldu kambing, sayuran, dan cabe hijau mentah. Bahkan, kecap dan sausnya pun tidak tersedia.

0 ulasan:

Catat Ulasan